<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d2088782634436562457\x26blogName\x3dBelajar+Mengungkapkan+Kata+Dalam+Tulisan\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://armeink.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://armeink.blogspot.com/\x26vt\x3d7121805960237238141', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Kamis, 14 Agustus 2008

Perilaku tidak biasa

Mengamati perkembangan kasus pembunuhan berantai di Jombang Jawa Timur yang dilakukan oleh Ryan yang konon kabarnya mempunyai perilaku yang tidak biasa. Perilaku yang tidak biasa tersebut dapat dengan mudah ditemui disekitar kita, tetapi masyarakat seolah-olah menutup mata atas kondisi tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang menggelitik, apakah keadan sekarang sudah begitu sedemikian permisive? dan apakah masyarakat sudah dapat dikatakan menerima keadaan yang demikian itu sebagai sesuatu yang lazim?

Jika dibandingkan sekitar tahun 1975, keadaan itu tampaknya memang sudah banyak berubah. Pada waktu itu sebenarnya sudah ada perilaku yang berbeda. Hal itu itu sudah saya saksikan sendiri misalnya ada seorang guru laki-laki yang suka menggerayangi tubuh siswa laki, atau ada seorang yang sebetulnya sudah cukup umur untuk berumah tangga, namun tetap melajang. Setelah sempat diselidiki, ternyata yang bersangkutan senang dengan anak laki-laki yang tampan, suka pegang2 dan ngobrolnya agak “menjurus”. Sekitar tahun 1985 tanpa diduga saya berjumpa kembali dengan orang tersebut. Ketika itu disampingnya nampak seorang anak muda yang cukup ganteng dan macho menyertainya. Sepintas terlihat mereka seperti sebuah pasangan yang sedang kasmaran. Namun untuk menutupi perilaku tersebut tidak dilakukan dengan terang-terangan mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Pada akhir-akhir ini, kita sering disuguhkan acara di Televisi, seorang komedian laki-laki berdandanan layaknya perempuan. Perilaku serta gaya bicaranya meniru perempuan dan memakai pakaian layaknya sebagai seorang perempuan, atau pembawa acara laki2 berperilaku dan berpakaian sebagai perempuan. Istilah awamnya mungkin kita katakan bences. Fenomena ini nampaknya mulai marak dipertontonkan pada kita di depan publik. Terlepas dari nilai jual sebuah acara televisi apakah hal ini sudah menjadi semacam trend, apabila pada setiap acara harus ada pelengkap bences nya.

Masyarakat tidak protes dengan acara Televisi tersebut, padahal jangkauan sangat luas dilihat oleh jutaan penduduk diseluruh Indonesia langsung mendatangi rumah-rumah penduduk. Kemudian sayup-sayup terdengar ada yang mengingatkan kita semua bahwa penayangan acara di televisi itu jika dilihat oleh anak-anak dibawah umur dapat mempengaruhi perlaku anak-anak dibawah umur.

Setelah berpikir sejenak, peringatan tersebut ada benarnya, bukankah anak-anak dibawah umur tersebut masih polos, masih mencari jati diri, masih harus diisi, diarahkan, dibentuk, serta diberi nilai-nilai yang baik dan benar oleh para orang tua. Orang tua yang berkewajiban mengarahkan nilai-nilai mana saja yang dapat diikuti dan mana yang harus ditinggalkan.

Anak-anak kita yang masih polos tersebut, tergantung dari orang tua akan dijadikan apa, mau dibentuk sebagai apa? Semua berpulang kepada orang tua yang telah mendapat amanat dari Allah SWT. Bukankah amanat itu akan dimintakan pertanggung jawabannya?